Setiap orangtua tentu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang tenang, mampu mengelola emosi, dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, tak jarang kita menjumpai anak yang terlihat lebih mudah marah, reaktif, atau bahkan menunjukkan perilaku agresif. Saat menghadapi situasi ini, kebanyakan orangtua secara refleks mencari penyebab dari luar mulai dari pengaruh lingkungan sekolah, tontonan, hingga pergaulan teman sebaya.
Padahal, salah satu faktor yang sering kali luput dari perhatian justru datang dari dalam rumah sendiri seperti pola asuh dan dinamika emosi orang tua khususnya ayah. Tanpa disadari, sikap, cara bicara, serta respons emosional ayah terhadap situasi sehari-hari dapat memberi pengaruh besar terhadap cara anak belajar mengekspresikan dan mengelola emosinya. Maka penting untuk melihat lebih dalam, bukan hanya pada perilaku anak, tapi juga pada hubungan emosional dan pola interaksi yang terbentuk di rumah.
Melansir dari beberapa sumber termasuk link.springer.com, berikut alasan mengapa pola asuh dan emosi ayah berpengaruh pada emosional anak.
Pola Asuh Bukan Hanya Tugas Ibu
Dalam banyak budaya, ibu memang lebih sering terlihat aktif dalam pengasuhan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa peran ayah sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Bukan hanya sebagai pencari nafkah, ayah juga turut berperan sebagai pembentuk karakter, terutama dalam hal regulasi emosi dan perilaku sosial anak.
Anak-anak yang memiliki hubungan emosional yang sehat dengan ayah cenderung lebih percaya diri, mampu mengelola stres, dan memiliki kontrol emosi yang lebih baik. Sebaliknya, jika interaksi ayah lebih sering diwarnai dengan kemarahan, emotionally unavailable atau cenderung otoriter, anak bisa mengalami kebingungan dalam memahami dan mengekspresikan emosinya sendiri.
Emosi Ayah yang Tak Stabil Bisa Menular
Anak adalah peniru ulung. Mereka belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan secara langsung, tapi juga dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Saat ayah sering menunjukkan kemarahan, frustrasi, atau ketegangan yang tak tersalurkan dengan sehat, anak bisa menyerap emosi itu tanpa sadar.
Misalnya, ayah yang pulang kerja dalam kondisi stres dan meluapkan emosi kepada anggota keluarga tanpa komunikasi yang sehat, dapat menjadi contoh buruk bagi anak. Anak bisa menganggap bahwa marah adalah cara utama untuk menyelesaikan masalah atau mengekspresikan perasaan.
Gaya Pengasuhan yang Terlalu Keras atau Dingin
Seorang ayah yang menerapkan gaya pengasuhan otoriter tegas tapi tanpa kehangatan cenderung memicu anak menjadi pemberontak atau justru terlalu tertutup. Di sisi lain, ayah yang terlalu cuek atau tidak terlibat emosional juga bisa membuat anak merasa kurang diperhatikan, sehingga mereka mencari perhatian melalui perilaku yang ekstrem, termasuk marah atau tantrum.
Keseimbangan antara ketegasan dan kehangatan adalah kunci dalam membangun hubungan yang sehat dengan anak. Anak perlu tahu bahwa mereka aman untuk mengekspresikan emosi, tapi juga dibimbing untuk memahami mana ekspresi emosi yang sehat dan mana yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Apa yang Bisa Dilakukan Orangtua Khususnya Ayah?
1. Kenali dan kelola emosi pribadi: Ayah juga manusia, tentu bisa merasa lelah, marah, atau stres. Tapi penting untuk menyadari bahwa anak sedang mengamati dan meniru cara ayah menghadapi tekanan.
2. Bangun koneksi emosional dengan anak: Luangkan waktu untuk berbincang, bermain, dan hadir secara utuh, agar anak merasa dicintai dan dipahami. Dengan begitu, mereka akan lebih mudah menumbuhkan empati dan kendali emosi.
3. Terapkan disiplin yang konsisten dan hangat: Bukan dengan hukuman keras, tapi dengan komunikasi yang jujur, penuh empati, dan memberi contoh nyata.
4. Ajak pasangan berdiskusi tentang pola asuh: Menyatukan visi dan strategi pengasuhan penting agar anak tidak mendapat pesan yang membingungkan dari kedua orang tuanya.