Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum ini bukan sekadar seremoni tahunan yang dilaksanakan secara formal di berbagai instansi pendidikan, melainkan panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk berhenti sejenak, menengok ke belakang, dan bertanya: sudah sejauh mana perjalanan pendidikan kita? Sudahkah pendidikan menjadi ruang yang membebaskan, mencerdaskan, dan memberdayakan?
Tanggal ini dipilih untuk menghormati kelahiran Ki Hadjar Dewantara (1889–1959), sosok pelopor pendidikan nasional yang dikenal dengan gagasan pendidikan yang merdeka dan berpihak pada rakyat. Ia bukan hanya tokoh perintis sekolah Taman Siswa, tetapi juga pemikir yang menekankan pentingnya pendidikan yang menyentuh akal, hati, dan kehidupan sosial peserta didik.
Pendidikan: Masihkah Sebagai Alat Pembebasan?
Dalam sejarahnya, pendidikan adalah alat perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan. Ki Hadjar Dewantara menolak model pendidikan kolonial yang diskriminatif dan eksklusif. Ia memimpikan pendidikan yang tidak hanya mencetak pekerja, tetapi manusia merdeka yang mampu berpikir kritis, hidup bermartabat, dan memiliki kesadaran kebangsaan.
“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.
Falsafah ini menunjukkan bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan bukan sebagai proses satu arah dari guru ke murid, tapi sebagai hubungan yang hidup dan membangun karakter. Namun realitas saat ini menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur tersebut masih jauh dari implementasi ideal.
Ketimpangan akses pendidikan masih terasa di berbagai penjuru negeri. Di kota-kota besar, anak-anak menikmati fasilitas yang lengkap, laboratorium, internet, guru berkualitas. Sementara di daerah terpencil, banyak anak masih belajar di bangunan semi permanen, kekurangan buku, bahkan tanpa guru tetap.
Mutu pendidikan pun belum merata. Nilai ujian atau akreditasi sekolah tidak bisa sepenuhnya menggambarkan kualitas pembelajaran. Banyak anak Indonesia yang belum memiliki kemampuan dasar dalam literasi dan numerasi sesuai usianya. Ironisnya, kurikulum kadang lebih menekankan pada hafalan dibanding pemahaman.
Digitalisasi dan Transformasi: Peluang dan Tantangan
Masuknya era digital membawa harapan baru dalam dunia pendidikan. Pandemi Covid-19 mempercepat perubahan ini. Sekolah-sekolah dipaksa beradaptasi dengan pembelajaran daring, membuka cakrawala baru dalam proses belajar-mengajar. Siswa dan guru mulai mengenal berbagai platform edukasi, dari video conference, aplikasi pembelajaran interaktif, hingga forum diskusi digital.
Namun, digitalisasi pendidikan juga mengungkap kesenjangan struktural yang belum terselesaikan:
-
Ketimpangan akses digital. Tidak semua siswa memiliki perangkat yang memadai, apalagi koneksi internet stabil. Di beberapa wilayah, jaringan masih menjadi barang mewah.
-
Kesiapan sumber daya manusia. Banyak guru belum dibekali pelatihan yang cukup untuk menggunakan teknologi secara maksimal.
-
Perubahan pola interaksi. Pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, tapi juga proses interaksi sosial dan pembentukan karakter. Hal ini sulit dicapai jika hanya melalui layar.
Digitalisasi bukan hanya soal alat, tapi juga paradigma. Kita perlu menyiapkan sistem yang inklusif, adaptif, dan berorientasi pada kualitas, bukan sekadar mengejar modernisasi semu.
Guru Pilar Utama Membentuk Generasi Masa Depan
Pendidikan tidak akan pernah lepas dari peran guru. Dalam kondisi apa pun, guru adalah pilar utama dalam pembentukan generasi masa depan. Namun faktanya, banyak guru di Indonesia yang belum mendapatkan penghargaan layak atas dedikasi mereka. Guru honorer dengan penghasilan rendah, beban kerja yang tinggi, serta minimnya akses terhadap pelatihan menjadi potret keseharian di berbagai daerah.
Menatap Masa Depan: Pendidikan yang Memerdekakan dan Berkeadilan
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan sekadar ajang memperingati masa lalu, tetapi juga momentum untuk membangun masa depan. Kita harus bertanya:
-
Apakah sistem pendidikan kita benar-benar sudah menjawab kebutuhan generasi hari ini?
-
Apakah setiap anak, tanpa memandang status sosial dan wilayah geografisnya, punya kesempatan yang sama untuk berkembang?
-
Sudahkah kita menciptakan ruang belajar yang aman, mendukung, dan inklusif bagi semua?
Pendidikan tidak boleh menjadi alat untuk menyeragamkan, melainkan sarana untuk menemukan dan mengembangkan potensi unik setiap individu. Pendidikan harus hadir tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga dalam keluarga, komunitas, dan ruang-ruang sosial lainnya.
Tanggung Jawab Kita Bersama
Refleksi ini bukan sekadar kritik, tapi ajakan. Ajakan untuk semua pemerintah, pendidik, orang tua, sektor swasta, dan masyarakat untuk bekerja sama membenahi dan membangun pendidikan Indonesia.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang hasilnya mungkin tidak langsung terlihat, tetapi dampaknya menentukan masa depan bangsa. Maka, di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita perkuat komitmen untuk menghadirkan pendidikan yang bermakna, membebaskan, dan memberdayakan.