Ada banyak alasan yang menjadi penyebab emosi anak tidak stabil seiring bertambah usianya, yang menjadi lebih kompleks dibandingkan saat mereka masih bayi. Misalnya karena kelelahan, dan masih banyak lagi.
Menurut asisten profesor klinis di Yale Child Study Center dan Yale Center for Emotional Intelligence, Diana Divecha, PhD, luapan emosi anak selalu menyampaikan pesan untuk orang tua.
Dengan kata lain, anak bukan sekadar cengeng atau sering marah saja.
“Isi pesannya berubah bergantung pada area perkembangan yang sedang berproses. Tapi apa pun pemicunya, tangisan atau marah menjadi pesan dari anak bahwa mereka sedang memerlukan bantuan untuk mengatur emosinya,” ungkap Divecha, seperti dikutip dari Parents.
Lalu apa saja yang biasanya menjadi penyebab emosi anak tidak stabil? Yuk simak ulasannya berikut ini.
1. Kelelahan
Ketika anak sedang kelelahan, tubuh mereka melepaskan adrenalin dan kortisol ekstra untuk membuatnya tetap waspada. Ini adalah hormon yang sama yang dilepaskan sebagai respons terhadap stres.
“Hormon-hormon ini dapat membuat emosi anak tidak stabil, sehingga jadi sering marah dan menangis,” ungkap Dawn Huebner, PhD, seorang psikolog klinis dan penulis What to Do When You Worry Too Much.
Terlebih lagi, pusat penalaran di otak anak masih berkembang, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mengontrol impuls dan emosi dalam kondisi kehabisan tenaga. Akibatnya, anak akan meluapkan emosi dengan marah atau menangis.
2. Overstimulasi
Dikutip dari Very Well Family, suasana tempat bermain yang ramai awalnya memang seru bagi anak. Tapi lama-kelamaan pada titik tertentu, situasi ini bisa menjadi terlalu bising bagi anak.
Mereka mungkin akan kesulitan untuk mengungkapkan kondisi overstimulasi yang sedang dirasakan, sehingga meluapkannya melalui tangisan.
Jika kondisinya demikian, cobalah beri anak waktu tenang sejenak. Bagi sebagian anak, istirahat saja mungkin tidak cukup. Mereka mungkin perlu waktu pulang ke rumah lebih awal.
3. Lapar
Salah satu penyebab emosi anak tidak stabil yang paling umum yakni rasa lapar. Seperti halnya orang dewasa, sebagian anak juga jadi mudah marah saat lapar.
Tanpa ‘bahan bakar’ yang tepat, kemampuan otak anak untuk berpikir, belajar, dan mengendalikan emosi akan menurun.
Apabila Bunda sudah memahami bahwa Si Kecil sangat sensitif terhadap rasa lapar, jangan lupa selalu membawa bekal makanan ringan setiap kali bepergian.
“Anak-anak kecil biasanya belum mampu menahan rasa lapar dan menunggu makanan tersedia seperti orang dewasa, jadi mereka lebih cenderung merengek dan emosional ketika cadangan makanan tubuhnya sedang rendah,” imbuh Huebner.
4. Mencari perhatian
Sebagian anak memahami bahwa menangis adalah cara yang bagus untuk menarik perhatian orang tua. Jika Bunda merespons dengan mengatakan ‘berhenti berteriak’ atau ‘ kenapa kamu menangis sekarang?’, ini biasanya justru dapat membuat anak terus mengamuk.
Abaikan perilaku mencari perhatian jika memungkinkan. Hindari melakukan kontak mata dan jangan memulai percakapan saat anak sedang mencari-cari perhatian.
Pada akhirnya, mereka akan menyadari bahwa mengamuk atau berteriak keras-keras bukanlah hal yang menyenangkan ketika mereka sedang ingin diperhatikan.
5. Stres dan marah
Ketika balita atau anak usia prasekolah tampak sedang menghentakkan kaki, berteriak, atau membanting pintu, ingatlah bahwa di tahap usia ini mereka memang memiliki sedikit kendali emosi.
“Area otak anak yang akan membantunya mengatur emosi masih terus berkembang. Berteriak adalah reaksi impulsif, bukan pilihan. Bahkan anak usia 8 atau 9 tahun pun belum memiliki kendali emosi sekuat orang dewasa,” imbuh penulis How Toddlers Thrive, Tovah Klein, PhD.